Search

Wednesday, June 4, 2025

Oleh oleh berupa anak dari lelaki asing



Kisah Pilu "Anak Oleh-oleh" di Lombok: Terjebak Stigma dan Lingkaran Setan

Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat – Fenomena "anak oleh-oleh," sebuah istilah yang merujuk pada anak-anak yang lahir dari hubungan pekerja migran perempuan Indonesia dengan warga asing di luar negeri, tengah menjadi sorotan di Lombok. Alih-alih menjadi "buah tangan" yang membahagiakan, anak-anak ini justru harus menanggung beban stigma dan masalah sosial yang kompleks, seolah mewarisi takdir pahit dari orang tua mereka.

Beberapa keluarga yang menghadapi realitas ini. Salah satu yang paling menonjol adalah kisah tiga bersaudara, Fatma, Aminah, dan Esti. Ibu mereka, seorang pekerja migran di Arab Saudi, menjalin hubungan dengan warga asing dan membawa pulang anak-anak hasil hubungan tersebut ke Lombok Timur. Ironisnya, banyak dari "anak oleh-oleh" ini kemudian ditinggalkan oleh orang tua mereka yang kembali bekerja di luar negeri.

Stigma terkait status pernikahan orang tua yang tidak jelas menjadi momok bagi "anak oleh-oleh." Akibatnya, mereka rentan terhadap berbagai masalah, termasuk pernikahan anak dan pelecehan seksual. Kesulitan mendapatkan pekerjaan karena putus sekolah dan stigma yang melekat semakin memperburuk keadaan mereka. Bahkan, beberapa dari mereka merasa terdorong untuk segera menikah oleh keluarga yang merawat mereka, sebagai upaya mengurangi beban ekonomi dan sosial.

Fatma, Aminah, dan Esti: Cermin Pahit "Anak Oleh-oleh"

Kisah Fatma, Aminah, dan Esti adalah cerminan nyata betapa pahitnya kehidupan "anak oleh-oleh." Fatma, misalnya, terpaksa menikah pada usia 15 tahun dan telah menikah siri tiga kali dengan dua anak. "Saya tidak punya pilihan lain, hidup terlalu sulit dan tidak ada orang tua yang bisa menopang," ungkap Fatma dengan nada getir.

Adiknya, Aminah, juga menikah pada usia 16 tahun dan mengalami tragedi keguguran. Kisah pilunya berlanjut ketika ia menjadi korban kekerasan saat bekerja di Arab Saudi, bahkan kehilangan seluruh tabungannya. Sementara Esti, yang masih belia, menikah dini pada usia 14 tahun dan menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh suami kedua Fatma.

Lingkaran Setan Kemiskinan dan Trauma

Fenomena "anak oleh-oleh" menciptakan sebuah lingkaran setan yang sulit diputus. Banyak dari mereka akhirnya mengikuti jejak orang tua mereka untuk bekerja di luar negeri, yang berpotensi melahirkan "anak oleh-oleh" berikutnya. Fatma dan Aminah sendiri masih mempertimbangkan untuk merantau ke luar negeri, terdesak oleh faktor ekonomi.

Pemerintah Nusa Tenggara Barat mengklaim bahwa akar masalah "anak oleh-oleh" adalah kemiskinan. Namun, dengan angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia, khususnya di Lombok Timur dan Lombok Barat, serta penerapan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual (UUPKS) yang belum optimal, solusi dari pemerintah masih jauh dari harapan. Meskipun pemerintah Lombok Timur telah mencoba menerapkan sanksi sosial bagi pelaku pernikahan anak, dampak positifnya belum terasa signifikan.

Stigma, kemiskinan, dan trauma telah menjadi warisan pahit bagi "anak oleh-oleh." Kisah mereka adalah pengingat akan pentingnya perlindungan dan dukungan komprehensif dari semua pihak, agar lingkaran setan ini dapat diputus dan generasi mendatang dapat hidup dengan martabat da

n harapan.

No comments:

Post a Comment