Search

Hindari Dapur Diberi Bangunan Tambahan, Perhatikan Posisi Pelangkiran - Jawa Pos

Membangun dapur tidak bisa sembarang karena sudah ada ketentuan khusus yang mengatur. Makanya, membangun berkaitan denga dapur harus dipertimbangkan soal efek sekala dan niskala yang ditimbulkan. Kalau demikian, bolehkah dapur diisi tambahan bangunan lain yang dalam bahasa Bali dinamai emperan?

Menurut kajian Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana Jro Wayan Budiarsa, dapur yang diberikan emperan sangat kurang baik.

Dijelaskan penuntun ajaran Wahyu Siwa Mukti ini, apabila dapur diberikan emperan, itu berarti mengaktifkan Pamali, dan menimbulkan hawa panas atau gelombang energi panas di pekarangan rumah. "Pamali juga  bisa menimbulkan  berbagai penyakit yang datang, baik penyakit fisik maupun non fisik," terang pria yang akrab dipanggil  Guru Nabe Budiarsa kepada Bali Express ( Jawa Pos Group) pekan kemarin di Banjar Tegak Gede, Yeh Embang, Jembrana. Semua itu terjadi, lanjut
Guru  Nabe Budiarsa, karena dapur adalah tempat perapian ( api )  dengan kekuatan Brahma yang memiliki unsur panas dengan urip  9, dan angka ini merupakan  angka tertinggi dalam jajaran angka.

"Karena menjadi angka tertinggi, maka tidak  bisa dibesarkan lagi. Ketika dibesarkan lagi akan menjadi angka 10. Angka 10 ini  terdiri dari angka 1 (satu) dan 0 (nol). Ini berarti, setelah angka 9 akan kembali ke angka kecil," ulas pria ramah yang intens memberikan pencerahan kepada pengikutnya di berbagai daerah di Bali.

Ditekankannya, perlu dipahami bersama bahwa angka  bukanlah makna jumlah, tetapi makna urip atau kehidupan, dimana angka yang dijadikan urip tertinggi diasumsikan memiliki kekuatan tertinggi.


Kemudian angka atau urip tertinggi ini, lanjutnya, ketika diaplikasikan ke sebuah bangunan yang ada di sekitar pekarangan umat Hindu Bali khususnya, maka bangunan yang dengan urip 9 tersebut ( dapur), tak bisa diperluas lagi dengan aksesoris tambahan berupa emperan maupun disambung dengan bangunan lain atau  sejenisnya. "Dapur hendaknya dibangun secara menyendiri agar tidak berpengaruh terhadap gelombang energi yang tercipat di pekarangan rumah, kecuali memang bangunan itu dibuat sejak awal menjadi satu kesatuan dengan tempat yang lainnya, seperti konsep bangunan masa kini yang dibuat hanya satu atap untuk semuanya," papar Guru Nabe Budiarsa.


Menurut Guru Nabe Budiarsa, apabila terjadi penambahan atas  bangunan dapur akan berdampak munculnya hawa panas secara berlebihan, yang disebut sebagai pamanes karang. Jenis pamanes karang yang keluar dari unsur dapur disebut Pamali Brahma.


"Pamali Brahma  ini bisa menyakiti perut, fungsi hati, kaki, gangguan darah tinggi, mag baik asam lambung maupun gas lambung, panas tubuh naik turun, temperamental, emosional tinggi,  tidak betah di rumah, dan mudah selisih paham" bebernya.

Ditambahkan Guru Nabe Budiarsa, secara umum penyakit yang ditimbulkan oleh Pamali Brahma lebih mendominasi pada unsur perempuan dari penghuni rumah itu. Di samping itu pula berdampak juga terhadap ekonomi yang boros.


Jadi, menurut kajian dari Pasraman Sastra Kencana, dapur yang diberikan emperan sangat kurang baik, karena dapat menimbulkan dampak negatif terhadap penghuninya.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah posisi pelangkiran (tempat banten persembahan).
Menurut konsep Hindu Bali, dapur adalah tempat pengolahan semua bahan makanan, baik untuk kepentingan manusia maupun upacara. Namun, secara niskala ada hal yang perlu diperhatikan, yakni soal pelangkiran.


Dalam proses pengolahan makanan di dapur, diperlukan tiga unsur penting, yakni api, air, dan angin. Ketiganya merupakan unsur Tri Amerta, panugrahan Sanghyang Tiga yang ada di Kemulan.


Menurut kajian Pinisepuh Pasraman Sastra Kencana Jro Wayan Budiarsa, dari tiga unsur penting, api dan air adalah unsur yang bersebrangan dan berlawanan yang tak dapat dipertemukan.


"Kedua energi, api dan air ini hanya bisa dikendalikan oleh kekuatan Siwa, karena kekuatan Siwa inilah yang mampu menetralisasi semua sifat-sifat energi alam," terang Guru Nabe Budiarsa.


Berdasarkan hal itu, lanjutnya, segala perbuatan yang dilakukan di dapur haruslah bersinergi dengan kekuatan Siwa agar  manusia bisa melakukan semua aktivitas dengan baik dan aman.
Dari paparan tersebut dapat dipetik tatwa filsafat dan filosofi sastra, yaitu Siwa dan 'perbuatan'. Dari kedua kata Siwa dan perbuatan lanjutnya, dapat disimpulkan yang berstana di pelangkiran dapur adalah Sang Hyang Siwa Karma. Karma dalam hal ini berarti perbuatan. "Maka, apapun perbuatan kita di dapur yang menggunakan tiga unsur Tri Amerta ( api, air, dan angin) harus seizin dan restu dari Dewa Siwa," terang guru ajaran Wahyu Siwa Mukti ini. Dijelaskannya, dari ketiga unsur (api, air, dan angin), secara filosofi memberikan warna bahwa api yang warnanya merah adalah perwujudan Dewa Brahma.


Air adalah perwujudan Dewa Wisnu yang warnanya hitam. Kemudian angin yang warnanya  putih sebagai perwujudan Dewa Iswara atau Siwa.


"Secara otomatis membuat pelangkiran dapur karena berstana Dewa Siwa Karma, harus menghadap ke barat, karena timur adalah putih, selatan adalah merah dan utara adalah hitam. Jadi, tidak perlu lagi maturan (persembahan) di air, kompor, beras, nasi, dan lain sebagainya karena cukup satu yang berkuasa atas segala pekerjaan di dapur," bebernya.


Ditambahkannya, upakara yang dihaturkan pada tingkat yang paling sederhana adalah  punjung rayunan atau bisa juga persembahan yang berisi kopi, air, canang serta yadnya sesa menjadi satu tempat nampan.


Pada tingkat yang lebih tinggi, dapat menghaturkan pras pajati, ketipat nasi atau ketipat sari, sebagai simbol sarining amerta boga.


"Fungsi dan manfaatnya sebagai tempat memohon amerta atau sumber-sumber kehidupan yang dibutuhkan oleh jasmani, panugerahan Sanghyang Tri Amerta," katanya. Selain itu, juga sebagai tempat memohon penetralisasi dari unsur pakan kinum (makan dan minum), agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan pada makanan yang dinikmati. Berharap segala yang dimakan dan diminum memberikan kenikmatan dan kesehatan jasmani dan rohani.


Ditambahkannya, pelangkiran dapur sebagai tempat penyatuan dan penyederhanaan segala sarana dan prasarana upakara, sehingga tidak memerlukan upakara dan upacara pada unsur api, air, beras, dan boga atau nasi.

(bx/rin/yes/JPR)

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi dong https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/01/02/172839/hindari-dapur-diberi-bangunan-tambahan-perhatikan-posisi-pelangkiran

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Hindari Dapur Diberi Bangunan Tambahan, Perhatikan Posisi Pelangkiran - Jawa Pos"

Post a Comment

Powered by Blogger.